Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum
perempuan, dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam
mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah,
menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman
anjuran dan larangan dalam Islam.
Allah
Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
“
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS an-Nisaa’:124).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS an-Nahl:97)
[1].
Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan,
dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi
mereka
[2].
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata, “Wanita muslimah memiliki kedudukan
(yang agung) dalam Islam, sehingga disandarkan kepadanya banyak tugas
(yang mulia dalam Islam). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita
[3],
bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat khusus
tentang wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika haji wada’)
[4]. Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…
[5].
Tugas dan peran penting wanitaAgungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya
sebagai pendidik pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan
memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan
perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya kaum
wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki
(kondisi) masyarakat
, hal ini dikarenakan (upaya) memperbaiki (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:
- Yang pertama: perbaikan (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan
di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang
perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah
orang-orang yang beraktifitas di luar (rumah).
- Yang kedua: perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini
dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada
kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah,
sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).
Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan: bahwa
sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari (jumlah) masyarakat
disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:
1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih
banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah
kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita
memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki (kondisi) masyarakat.
2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita,
yang ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya)
memperbaiki masyarakat
[6].
Makna inilah yang diungkapkan seorang penyair dalam bait syairnya:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]bijimana seorang wanita mempersiapkan dirinya agar menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya?Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia
perlu menyiapkan dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan
dalam hal ini, di antaranya:
1- Berusaha memperbaiki diri sendiri.Faktor ini sangat penting, karena bijimana mungkin seorang ibu bisa
mendidik anaknya menjadi orang yang baik, kalau dia sendiri tidak
memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang
terkenal mengatakan:
فاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ
“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa”
[8].
Maka kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menetukan
keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh
karena itu, para ulama sangat menekankan kewajiban meneliti keadaan
seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata:
“Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan
membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu
mengambil (ilmu) agamamu”
[9].
Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang
menjadikan para sahabat Nabi menjadi generasi terbaik umat ini dalam
pemahaman dan pengamalan agama mereka. bijimana tidak? Da’i dan
pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia
di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala
dalam firman-Nya,
{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله وفيكم رسوله}
“
bijimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para
sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan
kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai
pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).
Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa
yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan
tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri
[10], ketika Khalid bin Shafwan
[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik
[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang
disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan
dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun
berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar
penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah
(keteranganmu), bijimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama
mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah
mereka?”
[13].
Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’
[14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah
akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata,
“Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian
(tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain
sebabnya adalah
dari dirimu sendiri,
sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari
dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang
mendengarnya)”
[15].
2- Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami jelaskan tersendiri karena pentingnya.
Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan
anak didik termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan
para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan
dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada
pengaruh ucapan
[16].
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan
dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih
semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan
[17].
Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala
menceritakan kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, serta kuatnya
kesabaran dan keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Ta’ala,
untuk meneguhkan hati Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
mengambil teladan yang baik dari mereka
[18]. Allah Ta’ala berfirman,
{وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}
“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).
Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk
seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata,
“Jika seorang
ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga
kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang
dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di
luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan
mahramnya,
dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan
pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk
(mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari
pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran
untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan
dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan
dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “
[19].
Sehubungan dengan hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi
[20].
Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir
bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka
beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku
menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah!
Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga
(wibawamu) jatuh di mata mereka”
[21].
3- Memilih metode pendidikan yang baik bagi anakSyaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata,
“Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya,
adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala, dan jika seorang hamba
bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang
sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam
mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)
[22].
Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak
sejak dini melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya,
sebelum mereka mencapai usia dewasa, agar mereka terbiasa dalam
ketaatan.
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika menjelaskan makna hadits yang
shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan
bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih kecil
[23],
beliau menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah: bolehnya
membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang
bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang
membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang
diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban
syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut
[24].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk (pembinaan) awal yang
diharamkan (dalam Islam) adalah memakaikan pada anak-anak kecil pakaian
yang menampakkan aurat, karena ini semua menjadikan mereka terbiasa
dengan pakaian dan perhiasan tersebut (sampai dewasa), padahal pakaian
tersebut menyerupai (pakaian orang-orang kafir), menampakkan aurat dan
merusak kehormatan”
[25].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya: apakah
diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai
pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab: “Sudah
diketahui bahwa anak kecil yang umurnya dibawah tujuh tahun, tidak ada
hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya. Akan tetapi membiasakan
anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek dan
menampakkan aurat (seperti) ini tentu akan membuat mereka mudah (terbiasa) membuka aurat
nantinya (setelah dewasa). Bahkan bisa jadi seorang anak (setelah
dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa
menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku
anak-anak (harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini, meskipun
mereka masih kecil, dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan
jauh dari (pakaian) yang dilarang (dalam agama)”
[26].
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh[27]Senada dengan syair di atas, ada pepatah arab yang mengatakan:
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus melakukannya”[28].4- Kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anakSyaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak adalah amanah (titipan Allah
Ta’ala) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas
urusan mereka. Maka syariat (Islam) mewajibkan mereka menunaikan amanah
ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk (agama) Islam, serta
mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam
urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang pertama (diajarkan kepada
mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman kepada Allah, para
malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan mengimani
takdir Allah yang baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid
yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka.
Kemudian mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu)
menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan
mereka (yang baik), menumbuhkan (pada) watak mereka akhlak yang mulia
dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan
dan pengaruh luar yang buruk.
Inilah rambu-rambu pendidikan (Islam) yang diketahui dalam agama ini
secara pasti (oleh setiap muslim), yang karena pentingnya sehingga para
ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…Bahkan (metode)
pendidikan (seperti) ini adalah termasuk petunjuk para Nabi dan
bimbingan orang-orang yang bertakwa (para ulama salaf)”
[29].
Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan
pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak pada masa awal
pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka
jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik (kepada mereka),
(tentu) mereka akan tumbuh dan berkembang (dengan) baik dalam asuhannya,
dan ini akan memberikan dampak (positif) yang besar bagi perbaikan
masyarakat (muslim).
Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk
memberikan perhatian (besar) kepada anaknya dan kepada (upaya)
mendidiknya (dengan pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu
melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya
atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut…
Dan tidak pantas seorang ibu (bersikap) pasrah dengan kenyataan
(buruk yang ada), dengan mengatakan: “Orang lain sudah terbiasa
melakukan (kesalahan dalam masalah) ini dan aku tidak bisa merubah
(keadaan ini)”.
Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan (buruk ini),
maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab (dalam) perbaikan mesti
ada (upaya) merubah yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah
yang (sudah) baik menjadi lebih baik (lagi), supaya semua keadaan kita
(benar-benar) menjadi baik.
Di samping itu, (sikap) pasrah pada kenyataan (buruk yang ada) adalah
hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah,
ketika Allah mengutus Nabi kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa
Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala,
memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas
terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, (pada waktu itu) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas (bersikap) pasrah (pada
kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri tidak mengizinkan beliau
(bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut). Allah memerintahkan
kepada beliau:
“
Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang
yang musyrik” (QS al-Hijr:94)”
[30].
Penutup Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya
kepada para wanita muslimah, agar mereka menyadari mulianya tugas dan
peran mereka dalam Islam, dan agar mereka senantiasa berpegang teguh
dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda Islam dan dalam
urusan-urusan kehidupan lainnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 8 Syawwal 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel
www.muslim.or.id
[1] Lihat keterangan syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).
[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina takriimil Islam wa da’aawat tahriir” (hal. 6).
[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).
[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala ahkaamin takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).
[6] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 3-4).
[7] Dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” (hal. 5).
[8] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
[9] Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
[10] Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’
(wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para
ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau
dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al
Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau
dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat
120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin
Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab
“Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
[13] Siyaru a’laamin nubala’ (2/576).
[14] Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al
Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang
taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim
mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” . Biografi beliau
dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(6/119).
[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).
[16] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[17] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[19] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).
[20] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin
Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H),
biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[21] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[22] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[23] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[24] Fathul Baari (3/355).
[25] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 10).
[26] Kitab “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 146).
[27] Kitab “Adabud dunya wad diin” (hal. 334).
[28] Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
dalam “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 43).
[29] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 122).
[30] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 14-15).