Kamis, 9 Juni 2011 11:45:20 WIB
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (1)
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur
merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Tujuan mereka
sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi
kebenaran Islam dan hendak mencela Rasulullah dengan menyatakan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan
tidak memilih sahabat yang baik saja. Akhirnya dengan cara ini mereka
ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah
tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya
agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah.
Biarlah mereka mampus dengan kemarahan dan kedengkiannya.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah dengan slogan yang tampak
luarnya rahmat dan ilmiyah namun menyimpan dendam kusumat dan penipuan
besar serta kepandiran. Slogan studi kritis hadits, studi ilmiyah dan
kebebasan berpendapat, ini semua hanyalah semu dan fata morgana,
tujuannya hanya satu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab
itu berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari racun yang mereka tebarkan
dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara sahabat yang menjadi sasaran mereka adalah perawi yang paling
banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dialah
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dalam makalah singkat ini, kami
berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh Islam kepada
Abu Hurairah, yang merupakan tokoh besar dalam periwayatan
hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami berusaha
membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk
Allah.
Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Huraitrah [1]
1. Mereka [2] menyatakan:
Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat
memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah
maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya [3].
Juga menyatakan :
Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan
Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya,
orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.[4]
Tanggapan.
Memang Abu Hurairah lebih dikenal dengan kunyah (julukannya) daripada
namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya, dan tidak dapat
dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Meskipun sejarah Abu
Hurairah pada masa jahiliyah tidak dikenal, akan tetapi hal itu
merupakan satu kewajaran; karena bangsa Arab –seluruhnyatenggelam dalam
kejahiliyahan dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja. Mereka tidak
peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan
keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan,
karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka
sebagai pengemban risalahNya. Jadilah setiap individu dari mereka
memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para
perawi, selalu memperhatikan berita mereka. Dan mereka pun memiliki
murid yang selalu mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka
Para ahli sejarah mengetahui, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar
atau julukannya merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang
seseorang berselisih dalam hal nama dan kunniyah (julukan)nya,
sebagaimana khalifah pertama lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu Abu
Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’.
Mereka adalah tokoh-tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat.
Namun lebih lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian
besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Kita belum
pernah mendengar, pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan
keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas. [5] Karenanya,
celaan dan pelecehan terhadap Abu Hurairah yang lebih dikenal dengan
julukannya tersebut melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para
ulama Islam telah merajihkan namanya pada zaman Jahiliyah adalah Abdu
Syamsi, dan setelah Islam berganti menjadi Abdurrahman. Kemudian
tuduhan, bahwa dia tidak jelas asal usulnya, juga merupakaan satu
kebodohan dari para penuduh ini, karena asal-usul dan nasab Abu Hurairah
cukup terhormat.[6]
Apakah ihwal Abu Hurairah dalam hal ini berbeda dengan ihwal
sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya? Lalu,
mengapa ketidak jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah pada masa
jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisinya dalam Islam?
Apakah Kitabullah ada menyebutkan, bahwa orang yang tidak dikenal
sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan
kedudukannya, serta diragukan semua riwayatnya berkaitan dengan
haditshadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan
dan tipu daya yang besar. [7]
2. Mereka menyatakan: “Abu Hurairoh ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan
di Shuffah. Abu Hurairoh dating kepada Rasululloh pada bulan safar
tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal diemperan masjid
Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulkaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada
bulan itu isa disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami
sebagai Muadzdzin”.
Jawabannya:
Pernyataan ini tidak benar, sebab Abu Hurairoh bersahabat dengan Nabi
sekitar 4 tahun lebih. Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin
Abdurrahman Al Himyari dalam pernyataannya,
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan
Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat
tahun.” . sedang kepergiannya menemani Al ‘Alaa’ Al Hadhrami tidak
menunjukkan beliau menetap disana sampai Rasululloh meninggal, apalagi
adanya riwayat yang menyatakan beliau bermulazamah dengan Nabi selama
empat tahun diatas. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik
menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar walaupun tidak seluruhnya
dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Al Shidiq tahun 9 H.
3. Mereka menyatakan : “Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi
Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada
Nabi n seperti yang lain, tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat
Ahmad, Bukhori dan Muslim, Abu Hurairoh berkata: “Aku adalah seorang
miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” Dan
dalam riwayat lain: “untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat
Muslim: “Aku melayani Rasul Alllah untuk mengisi perutku.” Atau Aku
menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” kemudian menyatakan
lagi : “Ia juga punya hobi makan, karena kesukaannya yang berlebihan
akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’
(lesung-al-mihras- alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat,
“Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”)
Jawabannya.
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan mereka
terhadap Abu Hurairoh, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits
Rasululloh hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya
dalam kata lain melakukannya hanya karena sedikit dunia yang rendah,
memang diriwayatkan secara shohih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ
إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي
مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ
أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ
بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ
يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ
امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya Abu Hurairoh berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu
Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk
membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin
dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu
Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan
jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan
oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu
mengikuti Rasulullah Saw selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka
tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”
Pernyataan Beliau ra di lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan)
janji” pengertiannya, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja
berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku
dengan tuduhan yang keji. Adapun pernyataan beliau : “selama perutku
berisi”, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga beliau
ra tidak pernah tidak hadir di sisi Nabi Saw.
Kalau demikian tuduhan atas beliau sangat dipaksakan sekali dan tidak
ilmiyah. Hal itu karena Abu Hurairah ra tidak sekedar menceritakan
persahabatannya yang sama-sama dimiliki sahabat lainnya semata. Namun,
Beliau ra dalam pernyatannya tersebut ingin juga menceritakan
keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah
kebersamaan Beliau bersama Rasulullah Saw yang tidak dimiliki oleh yang
lainnya.
Keistimewaan tersebut beliau jelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’,
dengan menyatakan: “Selama perutku berisi”, lalu menyebutkan
keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan
kuat mencari penghidupan.. Hal ini, demi Allah, merupakan sopan-santun
yang luar biasa.
Tuduhan Abu Hurairah ra banyak makan dan bersemangat mendapatkan
makanan serta bersahabat dengan nabi n hanya karena makanan, bukan
karena hidayah islam atau kecintaan pada beliau n merupakan tuduhan keji
yang hanya dilontarkan orang yang hasad atau orang yang memiliki
kerusakan syaraf. Jika tidak, bijimana mungkin seorang yang berakal
dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah ra sanggup meninggalkan
negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul Saw hanya
(sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah ra di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum?
Lalu untuk apa Abu Hurairah ra datang ke Madinah? Apakah di negerinya
ia bias mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para
petani dan pedagang disana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap
sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan
diragukan keikhlasannya dari beliau.
Hingga sampai sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna,
karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafadz Shuhbah (bersahabat),
namun yang benar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari
dengan lafadz ‘Alzamu’ (selalu menemani dan mengikuti). Demikian juga
Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin
yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan
penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau, sebab kata
“persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kta “mulazamah” dan “al
khidmah” (melayani dan membantu). Sehingga pernyataan beliau ini
jelas-jelas untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau
terhadap hadits-hadits Nabi Saw seperti telah jelas dari alur
pernyataannya. Demikian juga para penuduh ini disamping telah melakukan
tahrif (penyimpangan) diatas juga memotong pernyataan beliau yang
merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama
persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan. Padahal semua itu,
beliau katakan untuk menjelaskan sebab pendorong menjadi sahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadits
Demikianlah, tahrief (menyimpangkan sesuatu dari lafadz atau makna
sebenarnya) sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari
jalan yang lurus dan penyembah hawa nafsu.
Lalu, darimana mereka mengklaim (menganggap) diri mereka mampu
mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah ra
dengan Nabi Saw? Apakah mereka lebih tahu dari Rasululloh n yang telah
memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairoh?
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna
lafadz (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah ra (‘عَلَىمِلء بَطْنِيْ)
bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan
penipuan lain, sekaligus sebagai bukti mereka selalu mencari jalan untuk
menjatuhkan pribadi Abu Hurairah ra.
Pernyataan Abu Hurairoh ini telah difahami dengan benar oleh para ulama
Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu
Hurairah ra (ala mil’i bathni): maknanya aku senantiasa mulazamah dengan
Beliau Saw. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta
untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha
menambah porsi makanan bagiku. sedangkan maksud pernyataan beliau
‘melayani’, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah.
Sehingga jelaslah kebatilan tuduhan ini.
4. Mereka berkata: “Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu
Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an,
menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan,
tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali
Ja’far bin Abi Tholib, yang langsung mengajak Abu Jurairoh kerumahnya.
Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairoh: “Demi Allah, tiada lain kecuali
Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu
hari, karena lapar, aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di
jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu Abu Bakar dan aku
bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya
kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan
tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai
ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia
mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhori: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (al Qur’an) kepada
Ja’far (bin Abu Tholib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia
mengajakku kerumahnya”. Dibagian lain : Aku meminta kepada Ja’far bin
Abi Tholib untuk membacakan kepadaku ayat (al Qur’an) yaitu artinya,
agar dia memberi aku makan, dan dia (ja’far bin Abu Tholib) adalah orang
yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami kerumahnya dan
memberi kami makan seadanya”.
Jawabannya:
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhori yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ
بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ
الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى
طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ
عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي
فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ
مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ
يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي
وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي
فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ
قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ
لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ
فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا
يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ
صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا
وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا
وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ
فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا
اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ
أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ
وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا
فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ
قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ
فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ
فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ
الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ
فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى
انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ
رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ
فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ
فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي
بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي
فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
Demi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku
tempelkan perutku ke tanah karena lapar dan aku ganjal perutku dengan
batu menahan lapar. Sungguh pada suatu hari aku duduk di jalan yang
biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Saw. Lalu Abu Bakar
melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al
Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar
menjamuku. Beliau pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu
melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya
satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar beliau
menjamuku. Namun beliau pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian
setelah itu Abul Qasim Muhammad Saw melintas di jalan itu seraya
tersenyum ketika memandangku. Beliau Saw mengetahui yang sedang
bergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dari wajahku. Kemudian Beliau
Saw memanggilku,”Wahai, Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi
panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.” Beliau
beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Saw.
Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau
Saw memasuki rumah, beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana).
Beliau Saw bertanya,”Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau
Saw) ra menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.”
Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi
panggilanmu, wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan
undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu
Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki
harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Saw
shadaqah, Beliau Saw kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama
sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau
Saw berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Saw pun mengirimkannya kepada
Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan
bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk
Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu
agar aku menjadi kuat dengannya. Maka ketika Beliau datang, Beliau
memerintahku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu
itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya
merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu
mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Saw pun
mengizinkannya. Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat
yang ada di rumah Beliau Saw. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku
pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda
lagi,”Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan
memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya
hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan
kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu
seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Saw dalam keadaan seluruh Ahlush
Shufah kenyang. Lalu Beliau Saw mengambil gelas tadi dan meletakkannya
di atas tangan Beliau Saw seraya memandangku sambil tersenyum dan
bersabda,”Wahai, Abu Hirr. Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan
meminumnya. Lalu Beliau Saw bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum.
Beliau terus memerintahku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang
mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman
dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun
menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Saw memuji Allah dan meminum
susu yang tersisa.
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka
terdahulu dalam mencela Abu Hurairoh sebagai orang yang beramal untuk
sesuap makanan, namun apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak
seluruh hadits beliau? Apalagi sampai menghina beliau sebagai orang yang
punya hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung.
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat menemukan bahwa beliau dalam
hal ini tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal yang
serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqaa’ sebagaimana diriwayatkan Al
Hakim dengan lafadz:
“Kami bertempat tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju
masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan
memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi,”Aku termasuk yang tidak
dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba-tiba aku melihat Abu Bakar di
kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan
surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku
makan malam. Lalu beliaupun membacakannya kepadaku hingga depan pintu
rumah (beliau) kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai
membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar.
Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan beliau (pun)
berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya,
pagi-pagi aku menemui Rasul Saw dan menceritakan hal tersebut padanya,
dan Beliaupun menjamuku.”
apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah beliau dengan Ja’far bin Abu Tholib dibawakan imam Bukhori dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ
بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ
إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا
فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib.
Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di
rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan.
Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan
tersebut.
Lihatlah perbedaan dan penukilan ngawur yang menjadi cirri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!!!!
5. Mereka menyatakan: “Keperibadian Abu Hurairoh lemah. Tatkala kembali
dari Bahrain, Umar bin Khothob mencurigainya menggelapkan uang baitul
mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh
Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau
musuh Islam.
Jawabannya:
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad
dengan sanad yang shohih tentang kisah kepulangan Abu Hurairoh dari
tugasnya sebagai amir (gubernur) Bahrain. Beliau menghadap Umar bin
Khothob dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar ra
bertanya padanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?” Ia
menjawab,”Tidak.” Umar ra bertanya lagi,”Apakah engkau mengambil sesuatu
dengan tidak benar?” Ia menjawab,”Tidak.” Umar ra bertanya lagi,”Berapa
banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab,”Sebanyak 20.000.”
Umar ra bertanya,”Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab,”Aku
berdagang.” Umar ra berkata,”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka
ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.”
Dan dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata padanya: “Wahai,
musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri)
harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya.
Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak
mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana berkumpul
untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang
biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku
(bagianku dari pembagian rampasan perang, ) juga berkembang dan
bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah ra
berkata,”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk
Amirul mukminin.”
Kita lihat para musuh Abu Hurairah ra mempergunakan perkataan keras
Umar ra ini untuk mencaci Abu Hurairah ra dan menuduhnya mencuri dan
merampas; padahal permasalahannya tidak demikian. Umar ra melakukan
pengambilan sebagian harta tersebut terhadap sejumlah pejabatnya dan
tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah dengan perlakuan semacam ini.
Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin
bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al
Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir. Lalu Umar ra pun mengirim
utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad ra, dan Abu
Hurairah ra, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian.
Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan
hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin
Wahb.
Umar ra tidaklah menuduh Abu Hurairah ra, dan tidak juga hanya
mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar ra
terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan
ijtihad dan kehebatan beliau dalam memenejemen (pengaturan)
perkara-perkara kaum muslimin. Sungguh Umar ra sangat mencintai
sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka,
bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat.
Berita perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan
hidupnya.
Khalifah Umar ra khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah
dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang
disandangnya. Karenanya beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan
meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggungjawabnya di hadapan
Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikannya kepada mereka setelah
pengambilan tersebut dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak.
Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka tanpa ada syubhat.
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai
dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang
sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa
menyebutkan riwayat secara lengkap. Padahal dalam riwayat tersebut
terdapat bantahan Abu Hurairah ra terhadap Umar ra, ketika Umar ra
berkata padanya“Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau
telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah ra menjawab,”Aku bukan musuh
Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang
menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah
mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginan beliau mengangkat kembali
Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaiman diriwayatkan Abu Ubaid
setelah riwayat diatas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar ra
berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku
menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa, (tidak mau) padahal telah
bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun
menimpalinya,”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi
pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”.
Umar ra berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?” Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu menjawab, ”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan
memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku
berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara
tanpa dasar ilmu”.
Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.) berkata: “Keraguan ini berasal dari
Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata lagi, Edt),”Dan aku takut akan
dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan
paksa.” [32]
Seandainya Umar ra telah mengetahui Abu Hurairah ra pernah berkhianat,
niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya
untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar ra meragukan sifat amanah
Abu Hurairah ra sedikit saja, tentu beliau akan menghakimi dan
menghukumnya dengan hukuman syar’i. Akan tetapi, beliau telah mengetahui
sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu
Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.[33]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dengan huruf
per huruf dari buku Saqifah, awal perselisihan umat karya seorang syiah
dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H –1994
M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta barat. Hal ini dilakukan
karena buku ini hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari
kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam. Maka hendaklah kaum
muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan
kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin
yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.
Kemudian jawabannya kami ambilkan dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairoh
karya Abdulmun’im Sholih Al ‘Alie Al ‘Izzie, tanpa tahun, Dar Al Syuruq,
Bairut, Al Sunnah Qabla Al Tadwien karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al
Khothieb, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan
kitab-kitab hadits serta beberapa referinsi lainnya.
[2]. Kami gunakan kata ‘mereka’ disini karena tuduhan ini juga
dilontarkan orang lain, baik di Indonesia atau di negara lain agar lebih
bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil
dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (dimesir) atau orang-orang syi’ah
lainnya.
[3]. Saqifah, op.cit hlm 12
[4]. ibid hlm 20.
[5]. Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairoh dari pernyataan Al
Ustadz Al Kahthib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul ISlam, halaman 213.
[6]. Silahkan lihat biografi beliau dalam Mabhats majalah ini; Kehidupan Sahabat yang Mulia Abu Hurairoh , hal. ?????
[7]. Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, halaman 307.
[8]. Saqifah op.cit hlm 11
[9]. Siar A’lami An Nubala, karya Al Dzahabiy, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Al Risalah, Bairut hlm II/426.
[10]. Musnad Ahmad,no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunannya, kitab Al
Thoharoh, Bab Al Nahyu ‘an Dzalika no 73 hlm I/19; Al Nasa’i, dalam
sunannya kitan Al Ziinaah bab Al Akhdzi ‘An Al Syaarib no. 4968 hlm
I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
[11]. Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’ ‘An Abi Hurairoh karya Abdul Mun’im Al’Izzi. Hlm 25-26.
[12]. Saqifah op.cit 12
[13]. ibid hlm 14.
[14]. Al Bukhari,dalam shohihnya, kitab Al Buyu’ Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi
Ta’ala Faidza Qadhaita Al Sholat no. 1906 - III/135. dan Ahmad bin
Hambal dalam Musnad Ahmad hadits no. 7273
[15]. Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah Al Salafiyah, hlm V/28.
[16]. Fathul Bari, op.cit IV/288.
[17]. Dari pernyataan Al Mualimi rahimahullah dalam Al Anwaar Al Kaasyifah, halaman 147.
[18]. Lihat pujian Rasululloh kepadanya dalam mabhas Abu Hurairoh dalam pandangan salaf al Sholeh.
[19]. Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, tashhih Syeikh Kholil
Ma’muun Syeihaa, cetakan ketiga tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut
hlm XV/270.
[20]. Shahih Al Bukhari,dalam shohihnya kitab Al Riqaaq, Bab Kaifa ‘Isy
Rasululloh wa Ashhabihi Wa Takhallihim min Al Dunya no. 5971 hlm
VIII/120.
[21]. Dinukil dari Difaun A’ Abi Hurairoh, op.cit hlm 45-46 dari Al Mustadrak, IV/116.
[22]. Al Bukhari, dalam Shohihnya kitab Al Ath’imah, BabAl Halwa wa Al Asl, no. 5431 hlm IX/557.
[23]. Thabaqaat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
[24]. Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269.
[25] Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
[26]. Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib
menyebutkan di hlm. 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, 105/J.3/Q.2. pembagian
Sa’ad.
[27]. Al Amwaal, oleh Abu Ubaid, halaman 269; dinukil dari Difa’ ‘An Abi
Hurairoh op.cit hlm 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib
menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa’ad, 105/J.3/Q.2.
[28]. Difa’ ‘An Abi Hurairoh op.cit hlm 140 dan menyatakan bahwa
Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih
menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
[29]. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
[30]. Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurraohman Al Mu’allimiy halaman 213.
[31]. ibid
[32]. Al Amwaal, oleh Ibnu Ubaid, halaman 269 dengan sanad yang shahih
dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasatuni dari lbnu Sirin, dan kisah itu
sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsaar, I/53. diambil
dari AL Difa’ ‘An Abu Hurairoh op.cit hlm 142.
[33]. As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.