Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “
Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama”
(HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama
seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk
melakukan amal shalih.
Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “
Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq”
[At Taubah: 33]. Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan
maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala
pernah memerintahkan Nabi-Nya
Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “
Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku”
[Thaha: 114]. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang
tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah
memerintahkan Nabinya
Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [
Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘
Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘
Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).
Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:
Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan
mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang
telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada syuhada, dan
orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.
Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun
tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh
Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.
Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa
ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang
Nashrani dan para pengikut mereka.
Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat Al Fatihah yang
senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”
Ya
Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah
ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan jalannya orang
yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [Al Fatihah: 6 - 7].
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah
Ta’ala (yang artinya) ‘
bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’,
yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak
mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang
yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama, adalah sifat Yahudi. Dan
yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat
tafsir ayat ini mereka mengira bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan
Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk
membaca doa tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang
bersifat demikian. Subhanallah! bijimana mungkin Allah mengabarkan
sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika
tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau memberi gambaran
keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka
buruk terhadap Allah. (Karena mengira bahwa firman Allah tersebut tidak
ada faedahnya -pent.)”. (Lihat
Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)
Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca
surat Al Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat wajib maupun
shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia
dari doa tersebut adalah harapan agar Allah Ta’ala memberikan kita
petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan
ilmunya, yang merupakan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga
harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang
binasa, yaitu orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau
berlebihan dalam ilmu saja.
Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat
itu di ambil dari Al Qur’an dan hadits, dengan bantuan para pengajar,
juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir Al Qur’an dan kitab
syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab nahwu, dan kitab bahasa arab
yang merupakan bahasa Al Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk
memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk
mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan agamamu. Seperti mempelajari
tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah
yang engkau butuhkan. Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan
tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah
Ta’ala. Agar penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah
Ta’ala.
Semua ini adalah hal-hal yang mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu.
Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan
bersih niatmu.
Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan
berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada mereka tentang
hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum
agamamu. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadiri pengajian-pengajian
yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan
program-program Islami dari siaran radio, atau membaca majalah atau
buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat
terhadap semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya
ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.
Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika
engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka Allah Ta’ala akan
menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “
Orang yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya: “
Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Al Baqarah: 272]
Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga
merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan bagi orang-orang
yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.
Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan
mengangkat derajat mereka dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman yang
artinya, “
Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang
tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakal saja yang dapat
menerima pelajaran” [Az Zumar: 9]. Allah
Ta’ala juga berfirman yang artinya, “
Allah
telah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari
kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” [Al Mujaadalah: 11]. Allah
Ta’ala telah
menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang digandengkan dengan
iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa
yang kita kerjakan. Maka di sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa
ilmu harus digandengkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman
dan
muqorobah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “
Al Mulakhos Al Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan]
—
Penerjemah:
Yulian Purnama
Artikel
www.muslim.or.id