june.dawn Co-Admin
Join Date : 2011-06-06 Location : Banda Aceh Posts : 101
| Subject: Anjuran Untuk Menikah : Sebagian Ucapan Para Sahabat Dan Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah Wed 15 Jun 2011 - 14:02 | |
| ANJURAN UNTUK MENIKAH
Oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[10]. Berikut Ini Sebagian Ucapan Para Sahabat Dan Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah.
a). Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah menikah?" Aku menjawab: "Belum." Dia mengatakan: "Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya." [20]
b). ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: "Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak berpisah dariku." [21]
c). Imam Ahmad ditanya: "Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya, sedangkan dia tidak memiliki syahwat?" Ia menjawab: "Ya, demi Allah, karena ia menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: 'Ini adalah wanita muda.' Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?" [22]
d). Maisarah berkata, Thawus berkata kepadaku: "Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: 'Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa.'" [23]
e). Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: "Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian." [24]
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:
Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayang Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu
Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan
Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu
Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir
[11]. Menikah Dapat Membantu Menahan Pandangan Dan Mengalihkan (Mengarahkan) Hati Untuk Mentaati Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:
Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya). Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita, maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’” [25]
Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya:
"Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Rabb Yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan mentaati Rasul-Mu."
Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:
“... Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.’” [Yusuf: 24]
Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.
Oleh karenanya, hendalah dia melakukan perkara-perkara ini dan memperhatikan perkara yang dapat memperbaharui keadaannya. Wallaahu a’lam.” [26]
Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang yang membujang sedangkan dirinya ingin menikah, namun dia khawatir terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya. Padahal ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang untuk kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia berdosa karena tidak menikah ataukah tidak?
Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya." [27]
Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk berhubungan badan.
Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.
Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan selainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kimpoi hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 33]
Adapun 'laki-laki yang shalih' adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya. [28]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair] __________ Footnotes [20]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049). [21]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170). [22]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31). [23]. ‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa' (V/47-48). Amirul Mukminin Radhiyallahu 'anhu hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawaid belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa' (II/23), al-Muhalla (IX/44). [24]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171). [25]. HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128). [26]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6). [27]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah. [28]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6). | |
|