Terakhir kali saya menonton sinetron dalam negeri sekitar tahun 2003.
kemudian tiga hari yang lalu (2010), secara sengaja saya kembali
menonton film Indonesia, kali ini dalam jenis FTV. Ternyata hampir tidak
ada yang berubah. And this is not in a very good way. Hanya ada satu
kata untuk menggambarkan perfilman Indonesia: TIDAK BERMUTU.
Ini adalah empat alasan mengapa anda tidak menonton film dalam negeri:
1. Moral of the story?? Absolutely not!Dalam perfilman domestik anda tidak mungkin berharap menemukan film yang
mempunyai pesan moral. Sinetron, FTV, atau apapun jenisnya sekarang
biasanya mempunyai alur cerita yang terlalu dramatis, contohnya, film
Tersanjung. (Maaf, karena ini film lama, jadi saya tidak ingat nama
tokoh-tokohnya. Jadi saya sebut saja dengan “si perempuan” dan “si
laki-laki”). Jadi si perempuan jatuh cinta dengan si laki-laki. Mereka
sama-sama mencintai. Masalahnya, setiap mereka mau menikah, pasti
adaaaaaa aja yang menghalangi, padahal penghulu sudah duduk manis di
depannya. Sudah dalam pose salaman pula! Hanya tinggal mengucapkan “saya
terima nikahnya…bla bla bla bla”, tapi masih saja gagal. Alasannya-pun
bervariatif. Mulai dari mantan pacarnya si laki-laki yang tiba-tiba
muncul terus ngaku-ngaku hamil. Atau muncul tokoh laki-laki lain yang
tidak rela si perempuan ini nikah sama orang lain, terus akhirnya si
perempuan ini dihamilin. Untungnya istri kesembilan pak penghulu yang
tiba-tiba muncul tidak pernah jadi alasan dalam gagalnya pernikahan
mereka. Dan situasi ini terus berlangsung sampai dengan season 6.
Seingat saya akhirnya mereka menikah, walaupun masing-masing sebelumnya
pernah menikah dengan orang lain. Moral of the story: naah kan, kalo
emang jodoh pasti ga kemana.
Kabar perfilman Indo yang beredar di bioskop nasibnya juga tidak lebih baik lagi.
Memang,
terdapat beberapa film bermutu. Tetapi kebanyakan berasal dari adaptasi
buku-buku ternama, seperti Gie, Laskar Pelangi, dan Ayat-Ayat Cinta.
Ada Apa Dengan Cinta (AADC) harus saya akui masih menjadi salah satu
film terbaik anak negeri karena alur ceritanya yang begitu natural,
mempunyai pesan moral, dan akting dari pemainnya yang juga bagus.
Petualangan Sherina juga termasuk sebagai film berkualitas. Tapi
akhir-akhir ini perfilman ini sering dipenuhi dengan film-film mistis
dengan judul yang…….. jenaka mungkin kata yang tepat. seperti; ‘Hantu
Puncak Datang Bulan’ dan ’kuntilanak vs pocongkkkkkkk’. Okey…. Anda
tidak berharap film dengan judul seperti ini punya pesan moral kan?
Kecuali untuk film yang berjudul ’kuntilanak diperkosa jenglot’. Mungkin
moral ceritanya lebih kepada usaha sii jenglot (yang katanya berukuran
mini) dalam memperkosa sii kuntilanak. Viel Gluck, lot!!
2. Menjual MimpiNilai-nilai menjual mimpi ini biasanya paling sering ditemukan di
sinetron. Para pemainnya tinggal dirumah-rumah besar, tanpa penjelasan
mengenai pekerjaan apa yang dijalani si pemilik rumah. Tidak sampai
disana, tapi juga memperlihatkan kehidupan yang terkesan ’buang-buang
duit’ dari si tokoh utamanya. Saya yakin pasti ada orang indonesia yang
seberuntung itu di kehidupannya nyata. Masalahnya konsumen sinetron
adalah menengah kebawah yang jumlahnya mencapai 70% (ini berdasarkan
penelitian suatu surat kabar yang pernah saya baca). Tidak heran angka
kriminalitas tidak menurun.
Belum lagi jika ceritanya mengenai anak-anak SMA yang ke sekolah dengan
rok yang terlalu pendek dan ketat, diikuti dengan make up menor, beserta
asesorisnya yang eye catching. Seingat saya (dan saya masih sangat
ingat ini), siswi yang memakai rok 3cm di atas lutut, roknya digunting.
Seragam sekolah tidak boleh ketat. Di izinkan memakai asesoris tetapi
dilarang untuk membuka gerai berjalan. Bagi siswanya, rambut tidak boleh
menyentuh kerah baju. Celana tidak boleh terlalu hipster, dsb. Dan
setau saya peraturan seperti ini hampir tidak ada yang berubah. Menurut
saya, fase remaja adalah fase terlabil dalam hidup seseorang (setelah
fase patah hati dan gagal dalam sidang skripsi). Bagi remaja yang berada
dalam keluarga tidak mampu, ketika mereka terus menerus diperlihatkan
gaya hidup yang seperti di tv, maka mereka pikir, seperti itulah
kehidupan remaja sejati! Memiliki kendaraan pribadi, tas-sepatu branded,
baju-baju bagus, dan pegangan uang yang banyak untuk nongkrong
disana-sini. Saya yakin, mimpi-mimpi seperti inilah yang akhirnya
mendrong banyak remaja putri menjadi hostes, menjual keperawanan,
menjadi simpanan, dsb. Dan ini bukan hanya teori, karena saya kenal
seseorang yang mempunyai karir seperti itu, walaupun sekarang pola
pikirnya sudah berubah sehingga saat ini dia memakai pendapatannya untuk
membiayai kuliahnya sendiri.
3. Low QualityDalam sesi ini saya akan membahas sisi sinetron yang mana sajakah yang dapat dikatakan rendah:
a. rendahnya kualitas akting. Anda sering menemukan ini dalam tokoh
antagonis. Perhatikan baik-baik jika peran antagonis sedang menyusun
rencana jahat dikepalanya. Fokuskan perhatian anda kepada matanya yang
melotot dan menyipit. Kemudian kepada gerakkan bibirnya yang terlalu
sulit untuk digambarkan. Ya! Bahkan jika suara di TV saya mute
sekalipun, saya bisa tau, ini pasti tentang rencana jahat. Walaupun saya
tidak pernah mengikuti jalannya cerita. Jika anda belangganan tv kabel,
anda bisa melihat perbedaan antara ”art-ist” dengan ”ngartis”.
b. rendahnya pengalaman para kru film. Hal ini seringkali ditemui pada
kru film bagian make up. Contohnya, si pemain yang baru bangun tidur,
rambutnya sama sekali tidak terusik. Bahkan terkadang mereka tertidur
dengan menggunakan lipstik dan blush on tipis. Contoh lainnya, di scene
yang memperlihatkan si pemain sedang sholat, make up-nya pun semakin
diperjelas. Ini biasanya terjadi pada pemain wanita.
c. Rendahnya kualitas ke-efektifan film. Menurut saya, hampir semua sinetron terlalu membuang-buang waktu. Contoh:
Fitrus: mas…… aku….
Feral: kamu kenapa fit?? Katakan padaku!
Mama Feral: kamu kenapa?? Bilang sama mama! Apapun yang terjadi, mama akan tetap sayang kamu!
Kakak Feral: iya fit, kamu udah kita anggep keluarga sendiri kok.
Fitrus: Semuanya…. fitrus minta maaf….. fitrus ga bisa ngasih keturunan… (hiks..hiks..)
*efek musik: jeng jeng!!*
1. *kamera full shoot wajah fitrus*
2. *kamera full shoot wajah mama Feral - ditambah gerak slow motion*
3. *kamera full shoot wajah kakak feral - ditambah gerak slow motion*
4. *kamera full shoot wajah feral - ditambah geleng-geleng slow motion*
Kemudian adegan kaget ini diulang-ulang dengan urutan yang berbeda:
2,4,1,3. 4,1,2,3. dan seterusnya sampai dengan dua menit kedepan. What a
waste!!!
4. Tidak Masuk AkalAlur cerita paling standar biasanya antara si miskin dan si kaya. Mereka
sama-sama jatuh cinta, tapi tidak direstui. Akhirnya munculah
rencana-rencana jahat dari pihak-pihak yang tidak merestui ini (biasanya
datang dari ibunya si kaya). Berbagai hal dilakukan oleh pihak-pihak
ini agar mereka tidak bersama.
Jika rating filmnya semakin meningkat, maka hal-hal yang tidak masuk di
akal mulai bermunculan, seperti; si miskin ditabrak mobil, dia mati dan
sudah dikuburkan, tapi beberapa tahun kemudian dia hidup lagi.
Atau cerita tentang si tokoh utama, yang baik tapi miskin. Hidupnya
selalu saja kesulitan, seakan-akan seluruh dunia berkonspirasi untuk
membuat dia selalu susah. Misalnya: Si miskin baru saja di pecat dari
kantornya, sehingga dia tidak punya duit untuk bayar kontrakan, yang
sialnya, si pemilik kontrakan tega untuk ngusir si miskin dan
keluarganya. Akhirnya mereka pindah kerumah saudara. Tapi ada saudaranya
yang benci dengan si miskin ini. Dibuatlah rencana jahat untuk mengusir
mereka, dan rencananya berhasil!. Secara kebetulan, si miskin diterima
kerja, sehingga dia dan keluarganya dapat kembali mengontrak rumah.
Sayangnya ibu si miskin sudah tua dan sering sakit. Ketika ia sedang
memasak, ia pingsan, sehingga rumahnya terbakar. Akhirnya mereka harus
menumpang dirumah salah satu keluarga. Seriously? Again??
Fungsi televisi saat ini telah menjadi bagian penting bagi setiap
masyarakat untuk menerima informasi. Sayangnya kita tidak dapat mengubah
semua masyarakat indonesia menjadi lebih pandai dalam memilih-milih
tontonan. Ini harusnya menjadi tugas dari perusahaan perfilman untuk
menciptakan tontonan yang lebih mendidik. Tidak perlu menyamai film-film
Hollywood dengan efek-efek komputer yang canggih. Mengapa tidak
memulainya dari cerita yang sarat dengan nilai-nilai positif, settingan
cerita yang lebih alami, yang lebih menggambarkan kehidupan orang
banyak. mengurangi efek dramatis, dsb. Hal apapun pasti dapat berubah
jika dibiasakan. Semakin bermutu tontonan masyarakat kita, maka semakin
bekualitas masyarakatnya.
sumber :
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6289922