Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
[1]. Hanya bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa
menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik
dalam ibadah, akidah, mu'amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai
dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya.
Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.
[2]. Menyerah kepada nash-nash syara', serta memahaminya sesuai dengan
pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara,
baik mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi
nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal
mereka dengan nash-nash syara'.
[3]. Itiba' dan meningglakan ibtida'. Mereka tidak mendahului perkataan
Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang
meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[4]. Mereka memperhatikan Al-Qur'an, baik dalam hal hafalan, bacaan
maupun penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal
dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).
[5]. Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan
pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun
aqidah.
[6]. Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil
seluruh ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Adapun selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka mereka
menimbangnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan
keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.
[7]. Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan
ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling
mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.
[8]. Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur'an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].
[9]. Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih,
meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa
jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling
mengetahui dan paling bijaksana.
[10]. Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan
mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam
(yang telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa
mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.
[11]. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain
mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau
sebaliknya.
[12]. Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar,
mereka tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi
pada saat yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Bersungguh-sungguhlah dalam
menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada
Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap
lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu
berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau
begitu', tetapi katakanlah, 'Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki'. Karena ucapan 'seandainya' akan membuka
(pintu) perbuatan setan". [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu].
[13]. Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya.
Para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengingkari orang yang
memiliki kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang,
setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di
bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain.
Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan
keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima
dan rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka
berpendapat, zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat bagi akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya,
tetapi ia meletakkannya di tangan dan tidak di hati, dan
menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah karunia Allah yang
diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah keadaan Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya
dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu 'anhum.
[14]. Mereka memadukan antara khauf (takut), raja' (harap) dan hubb
(cinta), bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah
bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang
mashur dari para salaf : "Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta
maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan
perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang
menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji'. Sedang yang
menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin
sejati".
[15]. Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap
keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku
keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal
Jama'ah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat
dan tuntutan kondisi.
[16]. Mereka memadukan antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih,
perasaan mereka jujur dan ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak
mengalahkan akal atas perasaan atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan
antara keduanya dengan sesempurna mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi
dikendalikan oleh akal, dan akal dikendalikan oleh syari'at : "Cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang Dia kehendaki". [An-Nur : 35]
[17]. Keadilan merupakan keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang
paling agung. Mereka adalah orang yang paling adil, dan orang-orang yang
paling berhak menta'ati firman Allah : "Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah". [An-Nisaa' : 135]. Bahkan jika kelompok-kelompok lain
bertikai maka mereka akan meminta keputusan hukum kepada Ahlus Sunnah
wal Jama'ah.
[18]. Amanah ilmiah. Di antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil
sesuatu, mereka tidak memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika
mereka menukil dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka, maka
mereka menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesui dengan
pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan mereka tidak berfatwa atau
memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka ketahui.
[19]. Mereka adalah kelompok moderat dan pilihan. Allah berfirman : "Dan
demikian (pula) kami menjadikan kamu, umat yang moderat dan pilihan".
[Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus Sunnah wal Jama'ah tampak dalam
banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum, perilaku, akhlak maupun
lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan, antara yang
berlebih-lebihan dan yang meremehkan.
[20]. Tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah. Para
As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam suatu persoalan prinsip-pun
dalam agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip aqidah. Dalam masalah
Asma' dan Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka adalah satu.
Pendapat mereka juga sama dalam masalah iman, defenisi dan berbagai
persoalannya, dalam masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip
lainnya.
[21]. Mereka meninggalkan perseteruan dalam masalah agama, serta
menjauhi orang-orang yang suka berseteru. Sebab perseteruan akan
mengakibatkan fitnah, perpecahan, fanatisme buta dan hawa nafsu.
[22]. Perhatian untuk menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran.
Mereka sangat peduli bagi kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab
pertikaian dan perpecahan. Sebab mereka mengetahui, persatuan adalah
rahmat dan perpecahan adalah adzab. Dan karena Allah memerintahkan
persatuan dan melarang perselisihan. Allah berfirman : "Dan berpegang
lah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai". [Ali-Imran : 103].
[23]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang luas,
pandangan yang jauh ke depan, paling lapang dada dalam soal perselisihan
dan paling teguh memegang berbagai peringatan. Mereka tidak risih
menerima kebenaran dari siapapun, juga tidak malu untuk kembali
kepadanya. Selanjutnya, mereka tidak memaksakan orang lain mengikuti
ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat orang-orang yang menyelisihinya,
dan tidak menjadi sesak dada mereka karena persoalan ijtihadiyah, yang
di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk tanda keluasan wawasan
mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta dan hizbiyah.
[24]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah
hati, penuh kasih sayang dan toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada
akhlak baik dan perbuatan terpuji.
[25]. Mereka senantiasa berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik dan perbedaan dengan cara yang baik pula.
[26]. Mereka adalah ghuraba, orang-orang yang memperbaiki apa yang
dirusak menusia dan selalu berbuat baik saat manusia lain rusak.
[27]. Mereka adalah Firqatun Najiyah, yang selamat dari berbagai bid'ah
dan kesesatan di dunia ini dan selamat pula dari siksa Allah kelak di
akhirat.
[28]. Mereka adalah Thaifah Manshurah (kelompok yang menang), karena
Allah senantiasa bersama mereka menolong dan meneguhkan mereka.
[29]. Mereka tidak setia atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka
tidak memenangkan hawa nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua
kesetiaan dan kebenciannya hanyalah semata-mata karena Allah.
[30]. Selamat dari sikap saling mengkafirkan satu sama lain. Ahlus
Sunnah hanya membantah dan menjelaskan kebenaran kepada orang yang
berselisih dengan mereka. Ini berbeda dengan kelompok lain seperti
Khawarij yang senang berselisih, menyesatkan dan mengkafirkan.
[31]. Hati dan lisan mereka selamat dari mencerca shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi
kecintaan kepada para sahabat, lisan mereka senantiasa basah memuji,
karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para shahabat adalah sebaik-baik
generasi sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.
[32]. Mereka selamat dari keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang awam di antara mereka.
Berbeda dengan ahli kalam atau kelompok lainnya. Ar Razi, misalnya,
salah seorang pembesar ilmu kalam yang karena kebingungan dan
keguncangannya, dalam salah satu syairnya mengatakan : " Dan akhir dari
usaha para ilmuwan adalah kesesatan". Bandingkanlah hal itu dengan
ucapan Umar bin Abdul Aziz : "Di pagi hari aku tidak merasakan
kegembiraan kecuali dalam qadha' dan qadar".
[33]. Selalu mengecek ulang berita-berita yang datang dan tidak gampang
men-genalisir hukum. Mereka tidak mudah menghukumi fasik, kafir atau
tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan asalan-alasan nyata.
[34]. Mereka mendapatkan berita gembira saat datangnya kematian, karena
keimanan dan istiqamah mereka dalam keimanan tersebut. [Fush-shilat :
30].
[35]. Kebaikan mereka di lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan,
hal itu karena aqidah mereka benar dan iman mereka kuat.
Karena semua hal di atas tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang
maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan jama'ah mereka adalah yang maksum.
Jika Ahlus Sunnah memiliki kesalahan kelompok lain lebih banyak, dan
jika kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu maka keutamaan dan ilmu
Ahlus Sunnah lebih sempurna dan lengkap.
Karena itulah, menjadi sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/
Jum'at II/R.Awal 1419H]