Seuramoe Forum
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
HomeSeuramoeSearchRegisterLatest imagesLog in

 

 TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Go down 
AuthorMessage
june.dawn
Co-Admin
june.dawn


Join Date : 2011-06-06
Location : Banda Aceh
Posts : 101
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Left_bar_bleue98 / 10098 / 100TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Right_bar_bleue


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Empty
PostSubject: TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM   TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM EmptyTue 14 Jun 2011 - 15:56

Oleh : Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Islam telah
memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para
Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. KHITBAH (PEMINANGAN)
Seorang
laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia
meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh
orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim
meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang
sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang
meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila
seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa
melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!” [2]
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu
pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya:

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam
at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat
dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita
yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang
melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para
ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh
dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua
telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para
ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang
Apabila
seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah
ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan
wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki
shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani
radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Jika datang kepada kalian seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan
anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.’” [5]

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah
binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin
Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal
di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman
bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku
pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman
mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah
saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah
binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar
apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada
‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku
dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah
engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi
aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar
berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk
menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah
menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya,
niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

Shalat Istikharah
Apabila
seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta
wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah
bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk
melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon
kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya
agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan
hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat
Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat
Al-Qur'an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu,
hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian
membaca do’a:

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan
yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu
(untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon
kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau
Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku
tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya
Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai
hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan
(tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah
atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini
membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘...di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan
jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di
mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu
kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu,
ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid,
‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata,
‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab,
bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan
meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga
aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke
masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.”
[11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap
hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha
Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.
3.
Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada
calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah.
Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]
__________
Foote Note

[1].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no.
1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini
milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad
(III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari
Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70),
ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4].
Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam
al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani,
al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain
bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
[7].
Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq
al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan
Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh
‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480),
an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi
(III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10].
Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi
shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat
ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa' (III/218-222).

____________________________

2. AQAD NIKAH
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang
dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan
orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu
kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya,
kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
[1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para
ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam
Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata,
“Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan
paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu
tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali
bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai
penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka.
Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita,
wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak
boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi
maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa
saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil
(tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang
menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab
menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan
(penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang
wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang
gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak
sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas
yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan
apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa
‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi)
dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka
dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di
antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci
bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui.”
[Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki
asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini.
Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan
kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan
dirinya. Ia berkata,

“Aku pernah menikahkan saudara
perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu
menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki
itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan
kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku
pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang
untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu
selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun
menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini:
‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata,
‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai
Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada
laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah
hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah
dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak
sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil
bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan
antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya,
padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan
ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali
jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja
keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali
sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya
wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat
bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas
tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan
wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya
wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak
membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak
ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam
asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah
tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil
(tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata,
“Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis,
melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya,
pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Imam Ibnu
Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali.
Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain
(wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk
menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut
Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila
pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan
kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah
perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta
persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang
gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang
janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya.
Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta
ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah
ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang
mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa
ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah
ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya).
[12]

• Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar
(atau diistilahkan dengan mas kimpoi) adalah hak seorang wanita yang
harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan
milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik
ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at
Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar,
bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses
pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya
seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh
membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah Nikah
Menurut
Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih
dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun
teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Segala puji
hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami
dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri
petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa
yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
[Ali ‘Imran : 102]

"Wahai
manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari
(diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya
kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
[An-Nisaa' : 1]

"Wahai
orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan
meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.”
[Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]
__________
Foote Note

[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi
(no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi
(II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid),
al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam
kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no.
1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101),
Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu
Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi
(VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[5].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473),
ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi
(VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan
Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.
7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali
adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam
kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil
(VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).
[6].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089),
at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar
radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10].
Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul
Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr.
As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092),
at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12].
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat
Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).
[13].
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no.
1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).
[14].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban
(no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221,
no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh
al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16].
Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah
Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.
[17].
Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu
khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya
radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
(I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105),
at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183),
ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan
al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:
1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat
Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin
al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan
cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap
khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai
dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud
(mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh
para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha,
ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR.
Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3.
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat,
beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda:
Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi
berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri
khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau
bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya
Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian
bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap
khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti
tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad
II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut
Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah
khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu:
“Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah
Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih,
menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja,
tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada
hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya...” (Majmuu’
Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya
khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah
nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah,
mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah
saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...” (Khutbatul Hajah
(hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau
melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan
saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak
dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain
mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya
ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga
Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/
Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu
‘Affan/th. 1420 H.)_________________________

3. WALIMAH
Walimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang
yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya
saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan
yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek
hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Makanan
paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan
penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya
maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah
engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan
makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila
seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu.
Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia
sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang
mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki
alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau
sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal
ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu
‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk
membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang,
“Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan
kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal
ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada
seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia
punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah
makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat
orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang
lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah
ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab,
‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

“Ya
Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan
berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:
“Telah
berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap
makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah
mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.
Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pembeda
antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah
rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga
berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah
mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam
riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil
-pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang
dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia
mengucapkan:

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]
__________
Foote Note

[1].
Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm
azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam
kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan
Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah.
Wallaahu a’lam.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i
(VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271),
ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu
Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
[4]. Hadits hasan:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395),
al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan
at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37,
101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan
lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.
[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).
[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).
[9].
Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461),
Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.
[11].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no.
3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu
‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055),
Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad
radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang
makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.
[13].
Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854),
al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299)
dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a
ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga
ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus
Salam, th. 1423 H.
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130),
at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim
(II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896),
Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata,
“Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16]. Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim
(II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(no. 2267).
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no.
1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan
al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.
______________________________

4. MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin
pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya
mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila
salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak
maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah
dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon
kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung
dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia
berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin
Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu
shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata:
‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami
mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka
mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu
itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya
terserah kamu berdua...!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.
Ia
berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir
dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta
berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk
membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu,
maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu.
Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah
keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab
aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan
berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah
antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal
ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu
‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau
supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu
duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau
sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata
kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum
isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

“Dengan
menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah
menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya
syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bijimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:
"Isteri-Isterimu
adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan
menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.”
[Al-Baqarah : 223]

Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’
Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah
ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Setubuhilah
isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah
(jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja

Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia
tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab
dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan
kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi
jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Jika
seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin
mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]


Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam
satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi'
berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?”
Beliau menjawab.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]


Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja
yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang
suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi
isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau.
Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha-
yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya
(berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

"Sesungguhnya
wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa
syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang
wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena
yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam
an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat
wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya -
atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk
meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan
tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan
itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk
pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:
"Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .
[An-Nuur : 30]

Dari
Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

"Wahai
‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya
karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Dan
mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu
adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu
haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang
bertaubat dan mensucikan diri.”
[Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Barangsiapa
yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada
duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran
yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
[16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh
al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh
hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci
dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas
Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]


Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang
haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]


Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’
(bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih
dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam
keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan
apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau
mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

"Apabila
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub,
beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk
shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun
riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah
melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat
yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap
suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan
rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan
suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya
manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah
laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama
dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam
hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan
hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang
berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di
tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang
dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan
kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara
yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah
tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.

Allah Ta’ala berfirman:
"Maka
perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah)
dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka).”
[An-Nisaa' : 34]

Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling
buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan
suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

Artikel lain yang terkait dengan perkara pernikahan ini dapat di lihat di judul artikel KONSEP ISLAM TENTANG PERKAWINAN




__________
Foote Note
[1].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no.
1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi
(VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz
Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
(VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal.
94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat
Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam,
th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161),
at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919),
an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217,
220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk
isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri
pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut
kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu
menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi
isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik
pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7].
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60),
at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.
4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan
al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah
(hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa'
(no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan
Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no.
1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341,
348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi
(no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408,
476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 130,
131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17].
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah
al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu
Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan
disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz
Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222,
223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad
(VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah
ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306
(25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’
(no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23].
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu
Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan
an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.”
Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142).
Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang
melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet
Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2185/slash/0

Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2010/06/tata-cara-pernikahan-dalam-islam.html#ixzz1IdK75DzY
Back to top Go down
june.dawn
Co-Admin
june.dawn


Join Date : 2011-06-06
Location : Banda Aceh
Posts : 101
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Left_bar_bleue98 / 10098 / 100TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Right_bar_bleue


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Empty
PostSubject: pertamax   TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM EmptyTue 14 Jun 2011 - 16:05

up gan
Back to top Go down
 
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Back to top 
Page 1 of 1

Permissions in this forum:You cannot reply to topics in this forum
Seuramoe Forum :: ● RELIGI & SPIRITUAL ● :: Islam Itu Indah :: Nikah-
Jump to: