Dari Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا
حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى
يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ،
وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
“
Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar
hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu
dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya
(kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama
menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang
orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits yang shahih dan mutawatir).
Takhrij Hadits dan DerajatnyaHadits ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no.
3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no.
229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam
“al-Mu’jamul kabiir” (no. 4890), dan imam-imam lainnya.
Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat
radhiyallahu ‘anhum dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali
[1].
Imam Shalahuddin al-’Ala’i berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat
radhiyallahu ‘anhu,
di antaranya: Abdullah bin mas’ud, Jubair bin muth’im, Zaid bin Tsabit,
Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin
Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin
Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah dan sahabat lainnya
radhiyallahu ‘anhum“
[2].
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Hadist ini sangat masyhur
(dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab “as-Sunan” atau dalam
sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan
Jubair bin muth’im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan
al-Hakim. Dan (imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam kitabnya
“at-Tadzkirah” bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh dua puluh empat orang sahabat
radhiyallahu ‘anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat tersebut…”
[3].
Bahkan imam as-Suyuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (2/179)
menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang
sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam Ahlul hadits, di antaranya: imam Abdurrahman bin Abi Hatim
[4], Ibnu Hibban
[5], al-Mundziri
[6], al-’Ala’i
[7], Ibnul Qayyim
[8], al-Bushiri dan syaikh al-Albani
[9].
Syarah Hadits Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan
orang yang mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits
beliau kepada umat manusia. Sampai-sampai imam Ibnul Qayyim ketika
mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan
mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini, maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi orang yang mendengar ucapan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain)”
[10].
Semakna dengan ucapan di atas, Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak
ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan)
tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari,
menghafal dan menyampaikan hadits (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam)
kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka
cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan
akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar)”
[11].
Doa kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini adalah sebagai
al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah
mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam
hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
manusia, yang dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi
putih berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam
firman Allah
Ta’ala,
{يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ
وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ
أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ
تَكْفُرُون. وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ
اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون}
“
Pada hari yang (di waktu itu) ada muka yang putih berseri, dan
ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram
mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu
beriman, karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun
orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat
Allah (surga); mereka kekal di dalamnya” (QS Ali ‘Imraan: 106-107)
[12].
Dan sungguh doa yang disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ini benar-benar terbukti secara nyata pada diri orang-orang yang diberi taufik oleh Allah
Ta’ala untuk mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keikhlasan serta mengharapkan balasan pahala dari Allah
Ta’ala[13].
Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Ada yang mengatakan: Sungguh Allah telah mengabulkan doa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (tersebut). Oleh karena itu, kamu dapati para (ulama) ahli hadits
adalah orang yang paling bagus (elok) wajahnya dan indah penampilannya.
Diriwayatkan dari imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa beliau berkata: “Tidak
ada seorang pun yang menuntut (ilmu) hadits kecuali (terlihat) pada
wajahnya kecerahan”
[14], yaitu: keindahan yang tampak atau (yang bersifat) maknawi (tidak tampak)”
[15].
Hal ini tidaklah mengherankan, karena secara umum Allah
Ta’ala menjadikan perbuatan baik dan amalan shaleh sebagai sebab yang
menjadikan kebaikan dan keindahan lahir dan batin pada diri orang yang
mengamalkannya, terlebih lagi pada diri orang-orang yang membawa
petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sumber kebaikan dalam agama ini.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan itu memiliki
(pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan
pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan
(sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh
buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada
tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”
[16].
Oleh karena itu, imam Ibnul Qayyim berkata, “Doa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ini (keindahan rupa) mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata)
an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang bersumber)
dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan, kesenangan dan
kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan tersebut,
sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan tampak (nyata)
berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah
Ta’ala mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan keceriaan
(pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana
dalam firman-Nya,
{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورً}
“
Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan
menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta
kegembiraan (dalam hati mereka)” (QS al-Insaan: 11).
Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan
kegembiraan/kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa
kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pegaruh baik
berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala (tentang keadaan penduduk surga),
{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}
“
Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan” (QS al- Muthaffifiin:24).
Kesimpulannya, kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain),
ini adalah pengaruh kemanisan (iman), dan kesenangan serta kebahagiaan
(yang dirasakannya) di dalam hati”
[17].
Keterangan di atas menunjukkan
keutamaan yang agung dari mempelajari dan memahami hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membersihkan penyakit hati dan kotoran jiwa manusia, yang itu
semua merupakan penghalang utama untuk mencapai kemanisan iman dan
kebahagiaan hati.
Oleh sebab itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganalogikan petunjuk dan ilmu yang beliau bawa dengan air hujan yang Allah
Ta’ala turunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan bagi tanah yang tandus dan bagi makhluk hidup. Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…
““
Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah Ta’ala wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“(
[18]).
Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah
Ta’ala)
seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia
(sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum
diutusnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi
negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama
akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…”
[19].
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak
(mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti)
akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan
pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab
ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam)”
[20].
Maraatib (Tingakatan/Tahapan) dalam Menuntut Ilmu AgamaDalam hadits yang agung ini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisyaratkan tentang
maraatib (tingakatan/tahapan) yang harus ditempuh dalam menuntut ilmu agama,
agar ilmu yang dipelajari benar-benar dapat dipahami dengan baik dan
bermanfaat bagi orang yang mempelajarinya.
Tahapan-tahapan ilmu tersebut adalah:
1- Mendengarkan/menyimak ilmu dari sumbernya, sumber ilmu yang utama adalah al-Qur’an dan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam hal ini membaca dan menelaah kitab-kitab ilmu agama yang bersumber dari wahyu Allah
Ta’ala tersebut.
2- Berusaha memahami dan meresapi kandungan maknanya, agar ilmu itu benar-benar menetap dalam hati dan tidak hilang.
3- Berusaha menjaga dan menghafalnya, agar tidak dilupakan.
4- Menyebarkan dan menyampaikannya kepada umat, supaya kebaikan dan petunjuk Allah
Ta’ala tersebar dan diamalkan dalam kehidupan manusia, karena ilmu agama itu
ibaratnya seperti perbendaharaan harta yang terpendam dalam tanah, kalau
tidak segera dikeluarkan maka harta itu terancam akan musnah
[21].
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat lebih utama daripada menyampaikan (melontarkan) anak panah
ke leher musuh (berperang melawan musuh-musuh Islam). Karena
menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh mampu dilakukan
oleh mayoritas manusia, adapun menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (kepada umat) hanyalah bisa dilakukan oleh
waratsatul Anbiya’ (orang-orang yang mewarisi ilmu para Nabi
‘alaihimus salam dengan tekun mempelajarinya) dan orang-orang yang menggantikan (tugas)
mereka (dalam mempelajari, memahami dan menyebarkan petunjuk Allah
Ta’ala) di umat-umat mereka. Semoga Allah
Ta’ala menjadikan kita termasuk (golongan) mereka, dengan anugerah dan kemurahan-Nya”
[22].
Kemudian, sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di
akhir hadits ini, “…Terkadang orang yang membawa ilmu agama
menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya…”, ini menunjukkan
salah satu manfaat besar dari menyampaikan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (di akhir hadits) ini merupakan peringatan akan pentingnya menyampaikan (petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat). Karena terkadang orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam)
lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang
menyampaikannya, sehingga orang tersebut mendapatkan (manfaat besar)
dari hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
disampaikan kepadanya) melebihi yang didapatkan si penyampai. Atau (bisa
juga) diartikan bahwa orang yang disampaikan kepadanya (hadits
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih paham (makna
hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, maka ketika dia
mendengarkan hadits tersebut, dia akan mengartikannya dengan sebaik-baik
kandungan makna, menarik kesimpulan (hukum-hukum) fikh, dan memahami
kandungan (yang benar) dari hadits tersebut”
[23].
Fawa’id Hadits1- Besarnya perhatian dan semangat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan bimbingan kebaikan kepada umatnya, untuk kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Allah
Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu
sendiri, berat terasa olehnya apa-apa yang menyusahkanmu, sangat
menginginkan (petunjuk dan kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mu’min” (QS at-Taubah:128).
2- Peringatan untuk memberikan perhatian besar dalam mempelajari hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara
riwayah (yang berhubungan dengan periwayatan/perawi dalam sanad hadits) maupun
dirayah (makna dan kandungan hadits).
3- Keutamaan menekuni ilmu hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendokan kebaikan bagi orang-orang yang menekuninya.
4- Anjuran untuk menyebarkan dan mendakwahkan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
5- Agungnya kemuliaan dan keutamaan para ulama ahli Hadits.
6- Anjuran untuk menjaga dan menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7-
Al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang Allah
Ta’ala berikan kepada manusia adalah sesuai dengan jenis perbuatan mereka).
8- Keutamaan para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena merekalah orang yang paling pertama dan sungguh-sungguh dalam
mendengarkan, memahami dan menyampaikan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini, maka merekalah yang paling berhak untuk mendapatkan kemuliaan doa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
9- “Barangsiapa yang mengajak (manusia) untuk (melakukan) kebaikan,
maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang
melakukannya”
[24].
10- Mendoakan kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan rupa bagi orang yang mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11- Larangan menyembunyikan ilmu dan petunjuk kebaikan.
12- Hadits ahad (hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya sedikit) adalah dalil dan
hujjah (argumentasi) yang wajib diamalkan kandungannya, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini tidak mensyaratkan jumlah yang banyak bagi orang yang mendengar dan menyampaikan hadits-hadits beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
13- Kebaikan manusia lahir dan batin hanyalah dicapai dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Allah
Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
14- Fungsi utama petunjuk yang dibawa oleh Rasullullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembersih penyakit hati dan kotoran jiwa manusia.
15- Mempelajari, memahami, menghafal dan menyampaikan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk sebab utama terjaganya kemurnian sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini termasuk makna firman Allah
Ta’ala,
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
“
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an[25], dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS al-Hijr:9).
16- Keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama.
17- Hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih adalah sumber pengambilan hukum-hukum fikh.
18- Keutamaan menggabungkan antara menghafal hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memahami kandungan maknanya
[26].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, 11 Dzulqa’dah 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel
www.muslim.or.id
[1] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…”
(3/315- kutubu wa rasa-il syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad).
[2] Kitab “Jaami’ut tahshiil fi ahkaamil maraasiil” (hal. 52-53).
[3] Dinukil oleh imam al-Munawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (6/283).
[4] Dalam kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (2/10).
[5] Dalam kitab “Shahih Ibni Hibban” (2/454).
[6] Dalam kitab “at-Targiibu wat tarhiib” (1/54).
[7] Dalam kitab “Jaami’ut tahshiil fi ahkaamil maraasiil” (hal. 53).
[8] Dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[9] Dalam kitab “sislsilatul ahaaditsish shahiihah” (1 bagian 2/761).
[10] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[11] Kitab “Mirqaatul mafaatiih syarhu misykaatil mashaabiih” (1/288).
[12] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…” (3/446).
[13] Ibid (3/455).
[14] Dinukil oleh imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Syarafu ashhaabil hadits (hal. 27).
[15] Kitab “Mirqaatul mafaatiih syarhu misykaatil mashaabiih” (1/288).
[16] Dinukil oleh imam Ibnu Taimaiyah dalam kitab “al-Istiqaamah” (1/351)
dan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 43).
[17] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[18] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[19] Fathul Baari (1/177).
[20] Kitab “Talbisu Ibliis” (hal.398).
[21] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71-72).
[22] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415).
[23] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/72).
[24] HSR Muslim (no. 1893).
[25] Termasuk di dalamnya sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sunnah adalah penjelas makna al-Qur’an.
[26] Lihat kitab “dirasatu hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati…” (3/368-375).