Merupakan hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin,
terlebih lagi oleh para penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah
sediakan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu agama. Keutamaan
tersebut disebutkan dalam banyak ayat Al Qur-an dan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan dari para ulama salaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau “
Miftahu Daaris Sa’adah” memuat pembahasan khusus tentang keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul:
Keutamaan
dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya
kebutuhan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan
(iman) dan keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu
(agama) ini. Dalam bab tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan lebih
dari seratus lima puluh segi keutamaan ilmu, berdasarkan dalil-dalil
dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keterangan para ulama salaf
rahimahumullah,
sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu yang beliau sebutkan dalam
kitab tersebut adalah pembahasan yang sangat lengkap dan menyeluruh,
yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab para ulama lainnya.
Namun sayangnya, kebanyakan dari kita – termasuk para penuntut ilmu
sendiri – sering lalai dan kurang menyadari bahwa ilmu yang dimaksud
dalam ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah sekedar teori belaka, yang hanya terlihat dalam
bentuk hapalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam
berceramah dan menyampaikan materi kajian, atau gelar dan titel yang
disandang, tanpa adanya wujud nyata dan pengaruh dari kemanfaatan ilmu
tersebut bagi orang yang mempelajarinya.
Semoga Allah
Ta’ala meridhai dan merahmati sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “
Bukanlah
ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu
(yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah
Ta’ala)”(
[1]).
Dalam atsar shahih lainnya Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu juga berkata dihadapan sahabat-sahabatnya, “
Sesungguhnya
kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang
berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah
kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai
berceramah tapi sedikit orang yang berilmu”(
[2]).
Definisi Ilmu Yang Bermanfaat (Al ‘Ilmu An Naafi’)Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat
dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya
saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan.
Dalam kitab beliau “
Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf”
(hal. 6) beliau berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah
mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah
radhiyallahu ‘anhum,
para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan
orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan Al
Qur-an dan Hadits. (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka
dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian
jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala) dan
pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha
untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan
(meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk
memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sangat cukup
(untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan
merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian
dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”.
Adapun dalam kitab beliau yang lain “
Al Khusyuu’ fish shalaah”
(hal. 16) beliau berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk
(dan menetap) ke dalam relung hati (manusia), yang kemudian melahirkan
rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di
hadapan Allah
Ta’ala”.
Kedua penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeda
dan tidak berhubungan, akan tetapi kalau diamati dengan seksama kita
akan dapati bahwa kedua penjelasan tersebut sangat bersesuaian dan
bahkan saling melengkapi. Karena pada penjelasan definisi yang pertama,
beliau ingin menjelaskan
sumber ilmu yang bermanfaat, yaitu ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya) dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dipahami berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan
orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka. Ini berarti, seseorang
tidak akan mungkin sama sekali bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat
tanpa mengambilnya dari sumber
Al ‘Ilmu An Naafi’ yang satu-satunya ini.
Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan
hasil dan pengaruh dari ilmu yang bermanfaat, yaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa tenang, takut dan ketundukan yang sempurna kepada Allah
Ta’ala.
Ini berarti bahwa ilmu yang cuma pandai diucapkan dan dihapalkan oleh
lidah, tetapi tidak menyentuh – apalagi masuk – ke dalam hati manusia,
maka ini sama sekali bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini
justru akan menjadi bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan
menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar – semoga Allah
Ta’ala melindungi kita semua – termasuk ke dalam tiga golongan manusia yang
pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih(
[3]).
Jenis ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij(
[4])
dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya yang menjadikan mereka menyimpang
sangat jauh dari pemahaman islam yang benar, sebagaimana yang
digambarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “
Mereka
selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya),
mereka (mahir) dalam membaca (dan menghafal) Al Qur-an. Akan tetapi
bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam
hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari agama ini seperti anak
panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari sasarannya…”(
[5]).
Sebaliknya, Allah
Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki
ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan Al
Qur-an sebagai sumber petunjuk yang menetap di dalam hati mereka, Allah
Ta’ala berfirman,
بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
“
Sebenarnya, Al Qur-an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu. (QS Al ‘Ankabuut: 49).
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya:
Al Qur-an adalah ayat-ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada
(jalan) yang benar, dalam perintah, larangan maupun berita (yang
dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu untuk
menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya”(
[6]).
Syarat Mendapatkan Ilmu Yang BermanfaatSetelah kita memahami definisi ilmu yang
bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau kemampuan yang
mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, maupun
gelar dan titel yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahwa
ilmu yang dimilikinya adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu
membimbingnya dalam menuju ridha Allah I, apalagi dengan melihat
kenyataan di jaman sekarang banyak orang yang dipuji karena hal-hal di
atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang
dipelajarinya dalam akhlak dan tingkah lakunya. Maka setelah itu, timbul
pertanyaan, bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat
itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat, bagaimanakah cara untuk
menjadikan ilmu yang kita pelajari bermanfaat bagi kita dalam membimbing
kita untuk semakin dekat kepada Allah
Ta’ala, sehingga semakin banyak ilmu yang kita pelajari semakin kuat pula keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah?
Untuk menjawab pertanyaan penting di atas, dengan memohon taufik dari Allah
Ta’ala,
kami akan menyampaikan kesimpulan dari tulisan Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah tentang cara mengambil manfaat dari Al Qur-an (termasuk ilmu
agama lainnya secara keseluruhan) dan syarat-syaratnya, dalam kitab
beliau “
Al Fawaaid” (hal. 9-10), dengan tambahan penjelasan dari kami untuk mempermudah dalam memahaminya.
Dalam pembahasan tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa secara umum
untuk bisa mengambil pengaruh dan manfaat yang maksimal dari segala
sesuatu yang ingin kita ambil pengaruh darinya, maka
ada empat faktor yang harus diwujudkan,
semakin sempurna keempat faktor ini terwujud maka semakin maksimal pula
pengaruh yang kita dapatkan darinya. Keempat faktor itu adalah: [1]
sumber pengaruh yang baik, [2] media untuk menerima pengaruh, [3] upaya
untuk mendapatkan pengaruh tersebut, dan [4] upaya untuk menghilangkan
penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh tersebut.
Dalam hubungannya dengan mengambil manfaat dan pengaruh yang baik
dari ilmu agama yang kita pelajari, keempat faktor tersebut terangkum
dalam kalimat yang ringkas tapi sarat makna dalam firman Allah
Ta’ala,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang
mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).
Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor pertama: sumber pengaruh (ilmu) yang baik, ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran)”),
artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat
dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus memilih sumber
rujukan ilmu yang terjamin kebaikannya.
Karena tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya
untuk sekedar menambah wawasan atau sekedar teori yang hanya berupa
hafalan yang kuat atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah, tapi
tujuan kita adalah agar ilmu tersebut memberikan manfaat dalam
membimbing kita untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada
Allah
Ta’ala. Sehingga sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti bisa mewujudkan tujuan tersebut.
Oleh karena itulah, Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber ilmu bermanfaat yang paling utama karena keduanya adalah wahyu dari Allah
Ta’ala yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna. Demikian pula kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti
petunjuk mereka, karena kitab-kitab ditulis oleh orang-orang yang
benar-benar memiliki keikhlasan, ilmu dan ketakwaan, sehingga manfaatnya
dalam mentransfer kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya
jelas lebih besar dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang
yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.
Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “
Shifatush shafwah” (4/122)(
[7]) menukil ucapan Hamdun bin Ahmad Al Qashshar(
[8]) ketika beliau ditanya, “
Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?” Beliau menjawab, “
Karena
mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri
(dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita
berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari popularitas),
kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia”.
Demikian pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal
ini adalah seorang da’i dan ustadz yang menyampaikan ceramah atau
kajian ilmu agama. Oleh karena itu, memilih pendidik ilmu agama yang
baik dalam ilmu dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu ditekankan
oleh para ulama ahlus sunnah bagi para penuntut ilmu. Karena kalau
seorang da’i atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka
bijimana mungkin dia bisa menjadikan muridnya memiliki ketakwaan
sedangkan dia sendiri tidak memilikinya? Salah satu ungkapan Arab yang
terkenal mengatakan:
فاقِِدُ الشيء لا يُعْطِيه
“
Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa” (
[9]).
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata, “
Sesungguhnya
ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu
mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu)
agamamu”(
[10]).
Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang
menjadikan para sahabat Nabi r menjadi generasi terbaik umat ini dalam
pemahaman dan pengamalan agama mereka. bijimana tidak? Da’i dan
pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia
di sisi Allah
Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah
Ta’ala dalam firman-Nya,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ
“
bijimana mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat
Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada
kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai
pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna ayat di atas: sesungguhnya kekafiran
itu sangat jauh dan tidak akan mungkin terjadi pada diri kalian (wahai
para sahabat Nabi), karena ayat-ayat Allah turun kepada Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu siang dan malam, yang kemudian beliau membacakan dan menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada kalian”(
[11]).
Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa
yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan
tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri(
[12]) dalam kitab “
Siyaru A’laamin Nubala’” (2/576), ketika Khalid bin Shafwan(
[13]) menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik(
[14]) dengan berkata, “
Dia
adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan
apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya,
kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan
tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata, “
Cukuplah
(keteranganmu), bijimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama
mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah
mereka?”
Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’(
[15])
tentang sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah
akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata,
“
Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian
(tidak terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain
sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat)
itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke
dalam hati (orang yang mendengarnya)” (
[16]).
Faktor kedua: Media untuk menerima pengaruh dan manfaat dari ilmu, dalam hal ini adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“
bagi orang-orang yang mempunyai hati”).
Artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat
dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus membersihkan
dan menyiapkan hati kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk
dan menetap ke dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda
syahwat atau
syubhat.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang dimaksud dengan hati (sebagai media
untuk menerima manfaat dan pengaruh dari ilmu di sini) adalah hati yang
hidup (bersih dari noda
syahwat atau
syubhat) yang bisa memahami (peringatan) dari Allah, sebagaimana (yang disebutkan dalam) firman-Nya,
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ مُبِينٌ (69) لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
“
Al Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang
memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada
orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69-70)(
[17]).
Oleh karena itu, upaya untuk melakukan
tazkiyatun nufus (pembersihan hati dan pensucian jiwa) adalah hal yang wajib dan harus
mendapat perhatian besar bagi para penuntut ilmu yang menginginkan
manfaat yang baik dari ilmu yang dipelajarinya.
Secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa untuk mengupayakan pembersihan dan
pensucian jiwa, serta mengobati penyakit-penyakit hati yang menghalangi
masuknya ilmu yang bermanfaat, maka ada tiga macam terapi penyembuhan
yang harus ditempuh, yang beliau istilahkan dengan
“madaarush shihhah” (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang
diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam
cara penyembuhan tersebut adalah:
1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan
kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan
shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al Qur-an dengan
menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang
bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.
2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati
dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat
lainnya, karena dosa-dosa tersebut akan semakin memperparah dan menambah
penyakit hati.
3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati
yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang
pernah dilakukan), yaitu dengan cara
beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat yang
nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah
Ta’ala(
[18]).
Faktor ketiga: upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu, yaitu
dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan
peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam
potongan ayat di atas, (
“Atau orang yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).
Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan
sumber pengaruh ilmu yang baik, demikian pula media untuk menerima
pengaruh baik tersebut, maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari
ilmu tetap tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang menghubungkan
antara sumber dan media tersebut. Maka dalam hal ini, banyak membaca Al
Qur-an dengan berusaha mengahayati kandungan maknanya, menghadiri
majelis ilmu yang bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah
buku-buku sumber ilmu yang bermanfaat adalah upaya yang harus kita
lakukan dan terus ditingkatkan agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu
makin maksimal kita dapatkan.
Faktor keempat: upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh baik dari ilmu yang bermanfaat. Ini diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (
“Sedang dia menghadirkan (hati)nya”).
Ini berarti bahwa kelalaian dan berpalingnya hati dari memahami dan
menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca Al Qur-an,
menhadiri majelis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat
utama yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari ilmu yang
sedang kita baca atau dengarkan.
PenutupSelain mengusahakan keempat faktor di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah
faktor do’a, karena bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah
Ta’ala semata-mata. Oleh karena itulah, di antara do’a Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta perlindungan kepada Allah
Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ucapan beliau:
اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها
“
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat, dari hati yang tidak mau tunduk (kepada-Mu), dari
jiwa yan tidak pernah puas (dengan pemberian-Mu), dan dari do’a yang
tidak dikabulkan”(
[19]).
Yang terakhir, perlu kita ingat bahwa kesungguhan dan upaya maksimal
kita dalam mengusahakan semua faktor di atas sangat menentukan – dengan
taufik dari Allah
Ta’ala – dalam berhasil/tidaknya kita mendapatkan manfaat dan pengaruh baik dari ilmu yang kita pelajari, karena Allah
Ta’ala akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seseorang
sesuai dengan kesungguhan dan upaya maksimal orang tersebut dalam melakukan sebab-sebab untuk mencapai kebaikan dalam agama ini.Allah
Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ))
“
Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam
menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan
Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik” (QS. Al ‘Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah
Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan
(manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari
Allah
Ta’ala) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”(
[20]).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah
Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya
yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua
taufik dan hidayah-Nya untuk bisa mendapatkan manfaat dan pengaruh yang
baik dari ilmu yang kita pelajari, serta menjadikan kita semua tetap
istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti,
Aamiin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, 10 Rabi’ul awwal 1429 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA
Artikel
www.muslim.or.id
([1]) Tafsir Ibnu Katsir (3/729), Ibnu katsir membawakan ucapan beliau ini dalam menafsirkan firman Allah U :
{إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور}
“Sesungguhnya yang memiliki rasa takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (tentang agama Allah).
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir:28).
([2])
Atsar riwayat Imam Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad” (no 789) dan
Abdurrazzak dalam “Al Mushannaf” (no 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar
dalam “Fathul Baari” (10/510) dan dihasankan olah Syaikh Al Albani dalam
“Ash Shahihah” (no 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah r
dan dishahihkan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 2510).
([3])
HR At Tirmidzi (no. 2382), Ibnu Khuzaimah (no. 2482), Ibnu Hibban (no.
408) dan Al Hakim (no. 1527) dari Abu Hurairah t, dishahihkan oleh Al
Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam “Shahih at
targiib wat tarhiib” (no. 22), Imam muslim juga meriwayatkan hadits ini
dalam “Shahih Muslim” (n0 1905) tanpa lafazh yang kami sebutkan di
atas. Perawi hadits di atas menyebutkan bahwa Abu Hurairah t sebelum
menyampaikan hadits tersebut sampai pingsan tiga kali berturut-turut
karena dasyatnya ancaman dalam hadits tersebut dan ketakutan beliau akan
kemungkinan tertimpa ancaman tersebut, maka apakah setelah ini masih
ada di antara para penuntut ilmu yang merasa aman dari kemungkinan
terkena ancaman ini ??!!!
([4])
Kelompok bid’ah yang pertama kali menyempal dari petunjuk Nabi r dan
para sahabatnya y, kelompok ini terkenal dengan pemahaman sesat mereka
yang mudah mengakafirkan kaum muslimin berdasarkan hawa nafsu.
([5]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 1066).
([6]) Tafsir Ibnu Katsir (3/552).
([7])
Ucapan ini juga dinukil oleh Abu nu’aim Al Ashbahani dalam ktab beliau
“Hilyatul Auliya’” (10/231) dan Al Baihaqi dalam kitab beliau “Syu’abul
iimaan” (no. 1842).
([8])
Beliau adalah Abu Shaleh Hamdun bin ahmad bin ‘Umaarah An Naisaabuuri
(wafat 271 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’”
(13/50) karya Imam Adz Dzahabi.
([9]) Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
([10]) Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
([11]) Tafsir Ibnu Katsir (1/514).
([12])
Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’
(wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para
ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau
dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(4/563).
([13])
Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al
Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau
dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
([14])
Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat
120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin
Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab
“Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
([15])
Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al
Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang
tat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim
mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” , biografi beliau
dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(6/119).
([16]) Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).
([17]) Al Fawaaid (hal. 9).
([18]) Lihat kitab “Igatsatul lahfan” (1/16-17).
([19]) HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 2722).
([20]) Al Fawaaid (hal. 83).