Ketiga, Muhammad Bin Abdul Wahhab -rahimahullah- Beliau hidup tiga abad yang lampau. Di saat itu dunia dipenuhi oleh
syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang menghadapkan wajah mereka
kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdoa dan beristighatsah
kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka
menggantungkan hati mereka kepada pohon, batu, kain-kain,
pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka
mencari berkah dari semua hal di atas. Maka imam ini melaksanakan apa
yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada
imam lainnya, amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad,
pena dan tombak, keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk
membela tauhid dan aqidah yang lurus.
Beliau berdakwah di jalan Allah ta’ala dan menuju tauhid yang murni,
membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan perkara baru dalam
agama, dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Maka terjadilah
berbagai bantahan, perdebatan, dan diskusi antara beliau dengan
musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan
yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya,
karena beliau telah meninggikan Sunnah, dan tauhid.
Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, yang setiap
rumah wajib tidak kosong dari kitab-kitab tersebut. Seorang thalibul
ilmi -juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti
Kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi ‘Alal ‘Abid (Tauhid yang merupakan hak Allah atas para hamba-Nya). Kitab ini kitab
yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya,
yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkan faedah-faedah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.
Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenaan
dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seorang di antara penduduk Afrika,
yang di sana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan
Sunnah Nabi. Dia berkata:
“Ada seorang Syaikh, di antara Syaikh
thariqat Shufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat
tangannya dan mendoakan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Dia mohon kepada Allah, agar Allah berbuat menimpakan keburukan
kepadanya,…dst doa. Doa yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang
bertauhid. Orang tadi berkata, “Suatu kali aku mendatanginya, aku
membawa kitab Tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang
judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia
berkata kepadaku, “Kitab apa ini?” Aku jawab, “Kitab yang berisi ayat
dan hadits, ditulis oleh seorang ulama.” Dia berkata, “Bolehkah aku
membacanya.” Maka seolah-olah dia berharap agar dia tambah meminta dan
penasaran. Dia lalu memberikannya, dan berkata, “Tetapi aku ingin
engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda,
seorang ‘alim yang agung. Sehingga aku mendapatkan manfaat.” Maka
besoknya dia kembali, lalu Syaikh itu mengatakan, “Kitab ini sangat
bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita
berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Di dalamnya hanya
ada firman Allah dan sabda rasul. Siapakah yang menyusunnya?” Dia
menjawab, “Inilah penyusunnya. Orang yang selalu engkau doakan
kecelakaan di waktu malam dan siang.” Maka dia bertaubat kepada Allah di
saat itu juga. Dahulu dia selalu mendoakan kecelakaan untuknya, tetapi
dia lalu mendoakan kebaikan untuknya. Inilah imam Muhammad bin Abdul
Wahhab.”Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang
semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan
bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon
kepada Allah ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat,
dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup.
Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya,
risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi ini -yang
kami sampaikan ini- adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita
dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita
pembesar kita.
Di zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena
dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah, dan
cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa,
dan di segala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid),
kita lihat Ahlusunnah yang baik, kita lihat para da’i Salafi. Mereka
tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), organisasi oleh thariqah, atau
harakah. Tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan
kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita
menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.
Di zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah
yang diberkahi ini. Di antara mereka, yang pertama adalah, Imam,
‘Allamah Abdurrahman bin Yahya Al Mu’alimi Al Yamani. Kemudian
‘Allamah Mahmud Syakir Al-Mishri. Juga para saudara dan kawan mereka,
Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrazaq Hamzah, Muhammad Khalil Harras. Sampai
perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu
keturunan imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sampai perkara ini pada muridnya, Imam,
‘Allamah, Al Bashir,
Abu ‘Abdillah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Bersamanya juga ada
saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam,
‘Allamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya, yang serupa dengannya, imam,
‘Allamah,
Abu Abdillah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ahli fikih yang teliti,
memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku
katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama di
zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugerahkan kepadanya,
yang tidak diberikan kepada orang lain. Yaitu bahwa ceramahnya merupakan
karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya,
seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan
susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa,
luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua di atas satu jalan, yang
cemerlang dan bersih, di dalam membela Sunnah Nabi, dan meninggikan
bendera aqidah Salafiyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan
sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai
negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah
menyelesaikan kewajiban mereka. Kita bersikap kurang jika kita berhenti
di belakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari
kemenangan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka.
Kalau demikian jadilah musibah yang besar, kita mohon perlindungan
kepada Allah.
Tetapi dengan semua ini, kita mendengar orang bodoh dari sana-sini
mencela para ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka
mengatakan,
“Ibnu Baz termasuk ulama penguasa.” Wahai miskin,
apa yang kau maukan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim,
zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini,
-sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan
sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama untuk
membela penguasa yang mengikuti hawa-nafsu!
Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan:
“Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi’ (kenyataan/situasi dan kondisi).” Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang ‘alim, tegar bagaikan
gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu, seperti perkataan ulama:
“Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu.” Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap
sesuatu masalah, tanpa memahami waqi’, tanpa melihat sisi-sisinya, dan
tanpa meliputi detail-detailnya. Tetapi, memang istilah “memahami waqi’”
yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik
zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan
musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan
saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang
berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan
pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal itu berbalik
menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas)? Kita mohon
perlindungan kepada Allah ta’ala. Kemudian, ada orang ketiga dari
golongan yang mencela ulama kita itu, mungkin dia seorang yang bodoh,
mungkin tolol, mungkin berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani,
bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, seandainya si
bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna
irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tertolak.
Demi Allah, sesungguhnya di zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama
yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan
penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang
menganggap perselisihan antara Ahlusunnah dengan para ahli fikih
Murji’ah sebagai perselisihan semu, tidak sebenarnya. Syaikh Al-Albani
menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.
Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah
berlalu 30 tahun yang lalu, bahkan lebih. Sedang orang yang membantah
beliau, jika engkau tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak
lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau
-wahai miskin- (yang membantah beliau) sedangkan bermain-main bersama
anak-anak kecil di jalan-jalan. Di saat itu engkau sedang membaca alif,
ba’, di Taman Kanak-kanak! Kemudian ketika tumbuh sebagian rambut di
wajahmu, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang
dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah
musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap, kita mohon perlindungan
kepada Allah ta’ala.
Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah), bendera mereka
berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Orang-orang
yang menyelisihi suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka,
niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid
kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.
Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut
telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh
Utsaimin -pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad
masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah
mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita
lihat para ahli ilmu dan sunah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita
lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh Mereka semua ini berada di atas jalan
dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan
aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh
sebagian orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu
bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik di
dalam hakikat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Dan aku
melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada Allah wahai
saudara-saudaraku, sebagaimana Anda sekalian melihat.
Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan
orang-orang bodoh. Dan teruslah dakwah ini dengan kemurniannya,
kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas
menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita
berharap kita termasuk para pembelanya. Aku mohon taufik dan ketetapan,
petunjuk dan ketepatan kepada Allah untuk diriku dan Anda semua.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya,
sahabatnya semua. Akhir ucapan kami,
Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.***
- Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
- Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul A’lam Dakwah Salafiyyah
- Sumber: Majalah As Sunnah